Rabu, 07 Mei 2008

Penelitian atas undang-undang politik baru ini, mengungkap bahwa pemilu mendatang tidak akan jauh berbeda dengan pemilu yang telah diselenggarakan di bawah rejim Suharto. Pemerintah Australia bersama kekuatan-kekuatan besar lainnya, telah membantu Suharto bertahun-tahun dan menerima pemilu 'buatan'-nya. Downer mengkhawatirkan apabila 'komunitas internasional' tidak memberikan 'dukungan dan dorongan' yang diperlukan, pemilu mendatang, secara meluas, akan dilihat sebagai pemilu yang tidak memiliki legitimasi dan tidak demokratis.
Penyelenggaraan pemilu mendatang mengambil kerangka dasar secara keseluruhan dari Undang-undang Dasar 45 (UUD '45), yang memberlakukan dua badan perwakilan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden, yang memiliki kekuasaan luas untuk memerintah dengan kekuatan kewenangan hukum, dan berkuasa untuk menunjuk serta memberhentikan menteri, tidak dipilih melalui pemilihan langsung, melainkan dari Sidang Umum MPR.
Di bawah rejim Suharto, badan perwakilan yang hanya berfungsi sebagai organ 'bawahan', berisikan orang-orang yang ditunjuk presiden termasuk sejumlah pejabat tinggi militer. Badan-badan perwakilan ini tidak banyak berperan dalam pemerintahan sehari-harinya, dan jarang sekali menggunakan kekuasaan legislatifnya. MPR yang telah menunjuk Suharto dalam 7 masa jabatan, terdiri dari 500 anggota DPR, hanya 400 dari mereka yang dipilih, dan 500 lainnya ditunjuk.
Hanya tiga partai -- yakni Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) -- yang secara resmi diperbolehkan untuk mengajukan kandidat. Aparat negara memeriksa dengan cermat semua kandidat, materi pemilu dari parpol, termasuk pidato, rapat akbar, dll. Golkar dipastikan sebagai mayoritas dengan 70 s.d. 80 persen suara, karena itu merupakan satu-satunya partai yang diperbolehan melakukan pengorganisasian di daerah pedesaan. Sebagai tambahan, jutaan pegawai negeri termasuk keluarga militer harus bergabung dan memilih Golkar.
Tahun lalu, MPR tanpa sanggahan kembali menunjuk Suharto menjadi presiden dengan masa jabatan 5 tahun. Pada bulan Mei, kurang dari 4 bulan setelah penunjukkannya, ia dipaksa untuk mengundurkan diri. Badan perwakilan ini juga, yang menyusun kerangka dasar baru bagi pemilu mendatang, telah memprovokasi protes anti pemerintah besar-besaran pada November lalu di tengah Sidang Istimewa yang mereka selenggarakan. Diorganisasikan oleh pimpinan-pimpinan mahasiswa, demonstrasi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, telah mengikutsertakan puluhan ribu buruh dan bagian-bagian kalangan kelas menengah. Rejim Habibie menggunakan polisi dan tentara untuk menghadapi aksi protes tersebut, aparat keamanan tersebut melontarkan tembakan-tembakan dari jarak sangat dekat ke kerumunan massa, sehingga menewaskan dan melukai para demonstran.

Tidak ada komentar: